Alat yang diciptakan oleh Dr Muhammad Rivai ST MT ini mampu menggantikan fungsi indera penciuman manusia. Terutama dalam mengenali, mengidentifikasi, dan menganalisa aroma tertentu. Memanfaatkan pola-pola algoritma neural network, temuan ini bisa jadi merupakan satu inovasi penting dalam dunia industri dan kedokteran.
Konsep yang ia ajukan adalah alat pencium elektronik yang mampu menghasilkan analisa akurat tanpa terpengaruh oleh faktor yang mungkin diderita oleh indera penciuman manusia. Jadi, tak heran bila nantinya alat ini diharapkan mampu menggantikan fungsi hidung dalam berbagai kebutuhan industri dan analisa kesehatan.
Prinsip kerja electronic nose menirukan fungsi hidung manusia, yang mana di dalamnya dijumpai berbagai reseptor pengidentifikasi aroma. "Reseptor-reseptor ini fungsinya digantikan oleh sensor pada electronic nose," ujar Dosen Teknik Elektro ITS ini. Ia menambahkan, tiap reseptor yang ada akan memberikan respon yang berbeda dari uap aroma yang sama.
Sebagai pengembangan awal, sensor electronic nose memiliki kemampuan mengidentifikasi 16 jenis aroma, di antaranya aroma apel, melati, dan peppermint. "Layaknya seorang bayi ketika dari awal sudah dilatih mampu membedakan beberapa aroma, seperti itulah cara kerjanya," kata Rivai. Proses pengenalan aroma electronic nose ini dilakukan dengan bantuan software.
Untuk alur kerja electronic nose, pria berkacamata ini menerangkan, proses diawali dengan memasukkan uap aroma ke ruang sensor, lalu uap tersebut akan diekstraksi menjadi komponen penyusun uap. Tiap komponen itu selanjutnya diukur intensitas dan konsentrasinya oleh sensor Quartz Crystal Microbalance (QCM). "Semua komponen ini saya dapatkan dari produk dalam negeri, kecuali perangkat FPGA (Field Programmable Analog Array - semikonduktor elektronik yang memiliki gerbang terprogram, Red) yang dipesan dari luar negeri," terang Rivai.
Guna menangkap uap aroma, Rivai memodifikasi osilator dan memberikan tambahan lapisan zat kimia. "Misalkan pada sensor ini, saya melapisinya dengan polyethylene glycol. Tiap sensor dilapisi dengan zat kimia yang berbeda," ujarnya. Harga bahan kimia yang digunakan pun menurut Rivai sangatlah terjangkau. "Hanya dua ribuan. Sebotol zat kimia dapat dipakai untuk ribuan sensor," imbuh Rivai.
Saat ini, electronic nose hanya dilengkapi dengan delapan sensor. "Tapi, saya sudah membuatkan tambahan sensor hingga 32 sensor. Jadi, kemampuan mengidentifikasi alat ini makin bertambah," papar peraih riset Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) ini.
Pengembangan lebih lanjut dari electronic nose akan memberikan banyak kegunaan. Rivai menyebutkan, electronic nose dapat dikembangkan hingga ke level mampu menganalisa aroma urine yang berarti juga bisa mengidentifikasi ginjal sehat atau bakteri di saluran kencing.
Selain itu, electronic nose juga bisa diupayakan untuk mampu menganalisa aroma pernapasan seseorang. "Penelitian ini rencananya akan dikerjakan oleh beberapa mahasiswa S3 Teknik Elektro. Tujuannya untuk membantu mendiagnosa penyakit TBC yang diderita seseorang," tandas alumni Teknik Elektro ITS angkatan 1987 ini.
Satu hal yang diidamkan oleh Rivai, bila electronic nose telah sempurna, ia berkeinginan perangkat FPGA yang ter-install pada electronic nose dapat dijadikan chip. Dengan begitu, electronic nose akan berbentuk sangat kecil dan dapat dibawa kemana-mana. "Tentunya dengan tercapainya harapan saya tadi, alat ini semakin bermanfaat untuk kehidupan manusia," tuturnya
Sumber:
http://ahmadnahyudin.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar